Jumat, 23 April 2010

Mungkinkah Pengelolaan Sampah di Depok Seperti di Jepang?

Oleh: Ricardi S. Adnan*)

Perkembangan Kota Depok baik sebagai sebagai kota penyangga ibu kota maupun sebagai kota mandiri dalam 20 tahun terakhir sangatlah pesat. Jika pada tahun 1990an orang bisa menyeberang jalan di Margonda sambil mengobrol, maka pada tahun 2000an kita akan berusaha keras mencari beberapa detik waktu untuk bisa menyeberang jalan. Jika dahulu waktu tempuh dari bundaran UI hingga ke kantor walikota pada siang hari dengan naik angkot hanya membutuhkan sekitar 5 menit maka saat ini waktu tempuhnya tidak kurang dari 30 menit. Kondisi tersebut merupakan cerminan bahwa jumlah penduduk kota Depok mengalami pertumbuhan yang sangat luar biasa.

Masalah Sampah di Depok 

Sebagaimana pertumbuhan kota di tanah air, perencanaan tata kota cenderung lebih berkonsentrasi pada sarana dan prasarana yang berkaitan dengan aktifitas mobiltas penduduk seperti pembangunan jalan dan pertambahan jumlah kendaraan umum, listrik, sekolah, telepon maupun rumah ibadah. Hal yang seringkali dilupakan adalah manajemen limbah. Meskipun hal ini dianggap penting, tapi tidak jarang pula persoalan sampah menjadi persoalan bagi warga maupun kota setempat.

Berdasarkan hasil studi yang dilakukan oleh M. Hasan (2006) pada tahun 2003, jumlah sampah yang dihasilkan rumah tangga di kota Depok sebanyak 2.270 m3 dari total sampah sebanyak 3.176 meter kubik per hari. Artinya 71% sampah yang dihasilkan merupakan sampah rumah tangga. Dari sekian jumlah sampah yang ada, 31 % dibakar/ dikubur, 23 % diangkut ke tempat pembuangan, 20 % dibuang ke sungai, 16 % dibuang sembarangan.  Tampaknya kondisi tersebut masih terjadi hingga saat ini. Banyak sampah yang menjadi penyebab banjir di kota Depok sekitarnya akibat penumpukkan sampah tidak pada tempatnya. Konsep Sistem Pengelolaan Sampah Terpadu “Sipesat” yang pernah menjadi “program andalan” Walikota Nurmahmudi, tampaknya hingga saat ini masih belum berhasil diwujudkan.

Penanganan Sampah di Pinggiran Tokyo 

Bandingkan dengan apa yang dilakukan di Daerah Fuchu dan Tama yang lokasinya sekitar 20 km dari pusat kota Tokyo. Sebagaimana tulisan Hiroyoshi Kano (2006), persoalan sampah telah menjadi perhatian warga dan pemerintah daerah di sana sejak 1950an. Pada tahun 1967 Daerah Tama telah mengajak pihak swasta berpartisipasi dalam mengangkut sampah dengan memberi konsesi untuk melakukan proses daur ulang. Di tempat-tempat yang telah ditentukan terdapat tong sampah besi berwarna hijau untuk menampung sampah yang bisa dibakar dan tong sampah berwarna orange untuk sampah yang tidak bisa dibakar. Truk sampah memiliki jadwal tertentu untuk mengangkut jenis sampah berdasarkan jenisnya tersebut.  Pihak swasta kemudian melakukan proses pengolahan sampah tersebut baik untuk dijadikan pupuk maupun barang-barang daur ulang. Penanganan pelayanan pengelolaan sampah secara lebih serius oleh pemerintah baru mulai dilakukan sejak tahun 1973 di Tama dan 1974 di Fuchu. Pemerintah dan juga warga secara aktif mensosialisasikan bagaimana mengelola sampah yang baik.

Hingga saat ini, sistem pengelolaan sampah di Jepang sudah sangat rapi sekali. Sampah dibedakan atas lima jenis (Combustible = sampah dapur, bulky garbage & noncombustible garbage = alat-alat rumah tangga seperti panci, pot bunga, sepeda, kaleng, botol-botol, kertas dan bungkusan plastik). Kelima jenis sampah tersebut harus dibungkus tersendiri masing-masing dan warga diharapkan meletakkannya di tempat sampah sesuai jadwal pengangkutan sampah untuk jenis-jenis tersebut.

Untuk mengingatkan warga dan pendatang mengenai bagaimana teknis pengelolaan sampah, setiap rumah tangga dan pendatang yang menyewa apartemen/ kos-kosan diberi panduan dan petunjuk cara mengelompokkan sampah dalam dua bahasa (Jepang dan Inggris) serta informasi jadwal pengumpulan sampah sesuai berdasarkan kriteria-kriteria tersebut. Botol plastik minuman yang dibuang disyaratkan untuk di pisahkan antara tutup dan botol plastiknya, serta label kertas yang menyertai juga dibuka dan dikelompokan ke dalam sampah kertas. Khusus untuk kaleng maupun plastik, warga diminta membersihkan terlebih dahulu dengan air dan kalau perlu dengan sabun. Hal ini dimaksudkan agar sampah yang ditumpuk tidak menyebarkan bau yang tidak sedap. Oleh karena itu, di Jepang kita tidak menemui adanya wilayah-wilayah yang disesaki bau sampah yang tidak sedap. (Gambar 4 dan 5)

Memang tidak semua orang hafal dan mengingat jadwal pembuangan sampah tersebut, khususnya para tamu/ pendatang. Namun dari pengamatan penulis beberapa bulan di Tokyo, semua sampah telah dibungkus/ dikelompokkan berdasarkan petunjuk tersebut. Untuk kekeliruan tersebut konsekuensinya sampah yang tidak sesuai jadwal tidak diangkut oleh mobil truk.
 
Hal penting yang perlu diketahui, bahwa pengelolaan sampah bukan saja tugas pemerintah atau beban dari warga semata melainkan tanggung jawab semua pihak. Pengelolaan sampah bukan hanya persoalan bagaimana membuang dari lingkungan kita tetapi juga berkenaan dengan kesinambungan lingkungan hidup. Hal yang paling utama adalah bagaimana kita menjadikan manajemen pengelolaan sampah tersebut menjadi bagian dari budaya kehidupan kita sehari-hari, dimulai pengelolaannya dari rumah masing-masing.

Mungkinkah Pemerintah dan warga Depok meniru langkah mereka menjadikan kotanya lebih bersih dan nyaman dihuni? Jawabannya ada pada kita semua.

-----------------------------

*)Penulis adalah warga Depok dan peneliti tamu (Visiting Research Fellow)  di Tokyo University - Jepang. Alamat email penulis:  ricardi.s@alumni.ui.ac.id .


Sumber :

http://margonda.com/Jendela/mungkinkah-pengelolaan-sampah-di-depok-seperti-di-jepang.html

19 Desember 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar